Tuesday 12 June 2012

Takut

Kepadamu, teman perjalanan melewati hari kelabu.

“Halo, pila?”
Pertama kali kamu mengucap kata ini dengan suaramu sendiri yg disalurkan melalui saluran telpon padaku, ingat? Ah, tak perlu bertanya, kamu kan tak pernah lupa hal seremeh apapun. Sebenarnya aku hanya ingin mengingat ingat awal mula kita mulai dekat, di tahun seragam abu abu ini dan didekatkan oleh potongan potongan chat singkat penuh makna. Tahun 2011, tanggal berapa ya? Entahlah, terlalu banyak hari yang kurasa bagai petasan tahun baru yang meledak di angkasa, saat kamu disini. Saat itu, dalam kata kata yang terluap jauh melebihi 140 karakter, kamu seolah membekukan waktu menjadi bongkahan gunung es besar, yang kemudian dilelehkan oleh hangat suaramu, setiap hari aku berbicara denganmu. Kita belum terlalu dekat di dunia nyata, tapi aku sudah suka, bahkan menyukaimu sejak dulu. Dulu aku menetapkan prinsip bahwa, anak band itu keren. Cuma anak band, there's no excuse for anak basket. Dan kamu adalah peruntuh tembok prinsip yang kudirikan dengan pondasi terkuat di dunia. Pikirkan, jika kamu terus menerus meluncurkan kata-kata indah setiap waktu, bagaimana bisa aku tetap mempertahankan benteng pertahananku untuk tak jatuh hati padamu? Kamu, sang penghapus memori lama, yang akan terus tersimpan dalam memoriku.
Ada rasa bangga tersirat padaku, mengetahui bahwa kamu tak hanya menganggapku angin yg membelai wajahmu sebentar lalu berlalu, tanpa hirau. Dengan jujur ku katakan bahwa, aku bukanlah orang yang senang memulai, aku lebih menikmati sanjungan dan kata kata indah yang ditujukan padaku, apalagi jika kamu yang melakukannya. Tapi saat itu terasa berbeda. Ada perasaan tenang, perasaan luar biasa berani untuk mencoba memulainya tanpa ragu. Dan kamu, membuat suasana yang sedemikian nyamannya agar aku dapat terus melanjutkan permainan itu, permainan candu yang bisa saja benar benar membawamu padaku. Kamu, dengan seribu daya pikat yang meracuniku.
Lalu kita berdekatan untuk pertama kalinya, di dalam rangkaian besi ber-roda empat. Disitulah kita saling berbicara lebih privat, hanya pita suara yang bergetar dan tatap mata yang beradu. Kamu membuat otot jantungku melemas, membuat tekanan pembuluh darah pipiku semakin deras. Kamu di dunia kata atau dunia nyata itu sama. Sama sama tak butuh banyak usaha untuk membuatku luluh, entahlah kamu sadar akan hal itu atau tidak.
Kemudian garis hidup kita seakan perlahan menemukan suatu titik temu. Semakin sering dipertemukan karena tergabung dalam suatu hal yg membuat kita sering latihan bersama. Lahir canda tawa, rayuan rayuan, yang kemudian semakin sering keluar dari mulutmu, yang dengan halus masuk ke telingaku. Dari sana, tertuai pula banyak mata dan telinga yang mengikuti cerita kita diam diam, dengan berbagai macam motif, hanya penasaran atau bahkan tak suka. Dari sana pula, banyak harap dan doa yang kulayangkan pada Tuhan, berharap agar kita tak hanya sebatas ini.
 Doa yang baik baik akan lebih didengar daripada doa dan harapan buruk. Mungkin, lebih banyak orang baik yg mendoakan kita tanpa kita tau, ya? Makanya, harapanku denganmu, seperti bintang yg menggantung rendah diatas kepalaku, dapat ku tangkap dan ku jaga.
Setelah kita berjalan selama ini, ada banyak hal yang aku simpan rapat-rapat. Entahlah kamu sanggup membacanya atau tidak, mengingat kamu adalah seorang anak indigo yang terus menerus menguntitku dengan kejujuran, hingga tak ada celah sedikitpun untukku berbohong. Ada masa masa saat kamu sedang jatuh terpuruk dan aku bahkan tak tau apa yg bisa kulakukan selain merasa sesak. Aku tak biasa melihatmu seperti itu. Aku mengenalimu sebagai sosok yang periang, yang tak pernah sedikitpun membuatku sedih, selama 7 bulan ini. Oh ya, sebenarnya yang membuatku sesak bukan itu..
Ada satu hal yang membuatku merasa tertikam tepat di dada, malam itu. Saat melihatmu tak berpendar seperti biasanya, dan kamu dengan terang terangan berkata bahwa akulah penyebabnya. Bahwa aku berbeda, dan kamu, menginginkan aku yg dulu untuk kembali. Sesak terasa membuncah. Nggak tau ya, hanya merasa gagal untuk membuatmu merasa bahwa aku pantas di perjuangkan karna aku tak pernah membuatmu bersedih seperti itu. Ya, aku sebenarnya hanya merasa takut jika masalah kecil seperti ini mampu membuatmu ragu padaku, atau bahkan suatu saat menjadi alasan untukmu pergi. Aku tak pernah mau membayangkanmu melangkah, dan menjauh. Ketakutan ketakutan itu entah bagaimana mengembun menjadi butiran butiran air hangat, yang tak tau kemana harus menuju selain ke kedua mataku, lalu mengalir perlahan, kemudian semakin deras. Bodohnya aku melakukan itu saat masih terhubung dengan layanan telpon denganmu. Untuk pertama kalinya, kamu mendengarku menangis ya, Sayang? Aku tak mau terlihat lemah, hmm bukan lemah, lebih tepatnya sebagian besar tangisku ini tersusun oleh rasa takut. Sudah ku jelaskan padamu bukan, bahwa aku takut, takut tak lagi kamu inginkan seperti gadis kecil yang menginginkan permen loli berharga, takut tak lagi kamu rindukan sebesar yang dirasakan gurun pasir terhadap hujan. Malam itu, dan hari ini seolah menit menit yang membuatku bersyukur. Bersyukur dengan adanya kamu, bersyukur dengan hal hal yang kamu lakukan untuk membuatku senang, bersyukur saat mendengarmu berkata "Ini lho yg kebo kangenin, denger pila ketawa se lepas ini, karena kebo, cuma buat kebo"


------------------------------


Seperti anak kecil yang menyimpan lolipop berharganya dalam lemari es, aku juga akan membekukan perasaanmu terhadapku, agar tak berubah.
Seperti gurun pasir yang akhirnya tersiram hujan, aku akan menghujanimu dengan kebaikan kebaikan yang semoga saja tak kau temukan pada orang lain.

Seperti bianglala, aku akan terus memperhatikan kehidupanmu yang berputar, saat kau denganku bahkan sampai saat kau tak punya siapa siapa lagi.

No comments:

Post a Comment